Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDA Space Teens
Tujuh Orang Buta Menuntun Hai hai
Ini salah satu pengalaman paling seru dalam hidupku. Waktu itu bulan Desember tahun 1993, saya baru pindah kerja dan tinggal di Surabaya hampir satu bulan. Seorang teman mengajak saya ke persekutuan Doa Pertuni. PERTUNI adalah Persatuan Tuna Netra Indonesia. Sayapun lalu akrab dengan mereka dalam waktu singkat.
Ketika Persekutuan doa Pertuni hendak merayakan NATAL, saya menawarkan diri untuk membantu, maka ditunjuklah saya untuk mengantarkan beberapa orang panitia setelah perayaan Natal selesai, harus ada seseorang yang mengantar mereka pulang sebab perayaan Natal dilakukan pada malam hari dan tidak ada kendaraan umum lagi setelah perayaan Natal selesai sementara jarak gereja tempat perayaan Natal dilakukan ke rumah para panitia itu lebih dari 5km jaraknya, mustahil ditempuh dengan jalan kaki di malam buta.
Perayaan Natal itu berjalan dengan meriah Hampir semua anggota Pertuni dari seluruh penjuru Surabaya datang, bahkan ada juga utusan dari kota lainnya. Walaupun hampir semua pengisi acara dan panitia orang buta, namun perayaan Natal itu sangat meriah. Bagi orang melek yang hadir mungkin merasa sedikit aneh, karena banyak sekali orang yang pake kaca mata hitam malam itu.
Jam 21.30 semua acara telah selesai. Saat itu aku mengendarai mobil Jeep. Aku duduk di bangku supir dalam mobilku. Satu orang buta duduk di sampingku sementara 6 orang buta lainnya duduk berdesak-desakkan di belakang. Aku duduk diam dan merasa bingung sendiri karena telah melakukan suatu kesalahan luar biasa. Aku minta izin kepada teman-temanku itu lalu turun dari mobilku. Aku berjalan mengelilingi halaman gereja, bahkan mengintip ke dalam gedung gereja. Gedung gereja sudah dikunci, di dalamnya gelap gulita. Mobilku adalah satu-satunya mobil di halaman gereja, tidak ada manusia lain kulihat di sana. Aku berjalan ke wc lalu kencing dan cuci tangan sambil berpikir, apa yang harus aku lakukan? Dengan putus asa aku melangkah kembali ke mobilku.
Sesuai dugaanku, teman-temanku itu bertanya dari mana? Aku menjawab dari WC. Lalu duduk diam. Tujuh orang buta duduk di dalam mobilku, aku harus mengantar mereka pulang ke 4 rumah yang alamatnya berlainan sementara aku buta sama sekali tentang jalanan kota Surabaya dan tidak memiliki peta. Saat itu aku hanya tahu jalan dari tempat kost ke kantor yang berjarak 1km sementara gereja tempat perayaan Natal itu hanya berjarak 500M dari tempat kosku. aku mengeluh di dalam hati, seharusnya para panitia itu tahu bahwa aku tidak tahu jalanan kota Surabaya, karena ketika menawarkan diri, saat itu aku sudah menyatakannya. Seharusnya ada seorang panitia melek yang menemaniku karena mereka sudah kuberi tahu bahwa walaupun melek, tetapi aku buta sama sekali jalanan kota Surabaya.
Mungkin teman-temanku mulai kehilangan kesabarannya, karena salah satunya lalu bertanya, “Panasin mobilnya kok lama tho mas?” Akhirnya aku memutuskan bahwa mereka juga harus ikut memikirkan masalah yang kami hadapi. Aku lalu bilang bahwa aku tidak tahu jalanan kota Surabaya sama sekali, jadi mustahil mampu mengantarkan mereka pulang. Mereka mentertawaiku setelah mengetahui masalahku, “Itu tho masalahnya, mbok bilang dari tadi!” Aku bilang, mereka bukan saja harus menunjukkan padaku harus ke jalan mana, tetapi harus menuntunku belok kanan atau kiri sebab aku buta sama sekali.
Setelah berunding sebentar, akhirnya mereka memutuskan bahwa saya harus mengantarkan yang rumahnya paling jauh dulu dan terakhir mengantarkan yang paling dekat agar nantinya mudah-mudahan bisa pulang ke tempat kostku tanpa nyasar. Dengan rasa penasaran saya lalu melaju membelah jalanan Surabaya di waktu malam. Awalnya saya melaju pelan-pelan untuk memberi mereka kesempatan mengenali jalan, namun karena terlibat dalam obrolan yang seru akhirnya saya melaju dengan kecepatan normal mengikuti kecepatan arus lalu lintas malam yang sepi. Di sela-sela obrolan itu seseorang selalu memberi tahu saya kira-kira berapa jauh lagi harus belok ke kanan atau ke kiri dan apa yang menjadi tanda unik yang harus diperhatikan, selain informasi yang diberikan oleh teman-teman, saya sangat terbantu dengan petunjuk arah yang terpasang hampir di seluruh persimpangan jalan.
Setelah melewati jalan-jalan besar kamipun lalu memasuki daerah pinggiran Surabaya dengan jalan-jalan kecilnya dan tanpa petunjuk arah sama sekali. Masih sambil mengobrol teman-temanku menunjukkan arah. Sesekali mereka memintaku untuk melambat, sesekali mereka memintaku untuk melaju dengan kecepatan tertentu, sesekali mereka minta izin untuk membuka jendela, sesekali mereka minta konfirmasiku akan tanda-tanda unik, baik berupa gedung, pohon maupun papan reklame, namun mereka tidak pernah memintaku untuk berhenti dan bertanya kepada orang-orang yang ada di pinggir jalan arah tujuan kami.
Akhirnya kami sampai di tempat pertama yang kami tuju. Sepasang suami istri turun, keduanya sama-sama tunanetra. Rumah mereka terletak di dalam gang yang tidak bisa dilalui mobil, keduanya melambaikan tangan ketika mobil kami melaju, saya membalas lambaian mereka. “Lho mas, kok melambai? Memangnya mereka bisa melihat?” Seorang teman di dalam mobilku nyeletuk membuat yang lainnya terbahak-bahak. Setelah tawa reda aku nyeletuk, “Lho mbak katanya tunanetra, kok tahu aku melambai? Memangnya kelihatan?” Kembali suara tawa membahana.
Tiba-tiba teman yang duduk di sampingku menyuruhku stop karena menurutnya kami melewati jalan yang salah. Akupun memperlambat laju mobilku, namun teman yang lain menyatakan jalan yang aku lewati benar. Terjadi perdebatan, sementara aku menghentikan mobilku di pinggir jalan. Teman yang duduk di sampingku minta izin untuk turun. Dia keluar lalu langak longok beberapa saat sebelum kembali masuk ke mobil. Kami melanjutkan perjalanan sementara teman yang duduk di sampingku mendiskusikan perubahan yang terjadi pada jalan yang kami lalui sejak terakhir kali dia melaluinya. Ternyata gubuk-gubuk kumuh yang tadinya terdapat di sepanjang bantaran sungai sudah digaruk bersih saat itu.
“Lho mas, kok melambai lagi? Lupa ya, sedang berurusan dengan tunanetra?” Kembali suara tawa membahana. Saat itu kami baru saja menurunkan seorang teman tepat di depan rumahnya, aku membalas lambaiannya ketika dia melambai dan herannya si mbak di belakang itu tahu bahwa aku membalas lambaian temannya. Kami lalu melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan mbak di belakang itu dengan ibunya. Setelah itu saya mengantar teman yang duduk di sampingku itu pulang.
Ketika temanku itu bertanya apakah aku tahu jalan pulang, dengan yakin aku menjawab tahu. Dia mengajakku mampir ke rumahnya, aku menolak dengan alasan sudah terlalu malam, sudah jam sebelas malam, namun berjanji akan mampir lain kali. Ketika mobilku melaju, aku ngakak sendirian karena aku kembali membalas lambaian dengan melambai. “Lho mas, kok melambai lagi? Lupa ya, sedang berurusan dengan tunanetra?” Suara mbak di belakang itu seolah mengiang di telingaku.
Aku sampai tempat kostku ketika jarum jam menunjukkan jam dua lebih dini hari. Aku tersesat, padahal jarak rumah temanku ke tempat kostku hanya sekitar 600 meter. Hal itu terjadi karena aku merasa gengsi untuk bertanya kepadanya atau aku terlalu meremehkan karena dia tunanetra. Aku tahu kami bertetangga ketika jam 07 pagi dia muncul di depan kostku sambil membawa 2 bungkus bubur ayam. Kami ngobrol sambil makan bubur. Temanku itu ternyata tidak sesederhana penampilannya. Dia adalah seorang sarjana pendidikan, seorang guru di sekolah luar biasa khusus tunanetra. Aku lalu cerita tentang nyasarku semalam. Kami ngakak bersama, menertawakan kebodohanku, menertawakan kesombonganku.
- hai hai's blog
- Login to post comments
- 2912 reads
orang buta
Lha orang 'buta' nuntun orang buta sampai rumah
untung bukan jurang ya.. seperti pepatah..
Inilah dunia anak umur 13 tahun yang terindah
apa kini aku masih anak kecil ? :D
Ketawa aja deh...
Membelai atau...
Kak, membelai atau meninju nieh.. ada banyak kemungkinan. Atau karena ngantuk, langsung tidur aja.
(ih, jam dua aku juga belom tidur kok)
Inilah dunia anak umur 13 tahun yang terindah
apa kini aku masih anak kecil ? :D