Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDA Space Teens
Double Esspresso - Ending Intro
@ DOUBLE ESSPRESSO
Setiap manusia memiliki caranya sendiri untuk memulai suatu hari.
Setiap pagi...,
Biasanya, aku suka menebak.
Menebak apakah hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan, atau hari yang berat.
Lalu aku akan segera lupa dengan tebakkanku.
Aku menilai itu sebagai antusiasme-ku untuk memulai sebuah hari, lagi.
Berbeda dengan saat aku kecil.
Setelah menghabiskan segelas susu vanilla,
aku akan langsung naik ke tempat tidur dan berusaha untuk tertidur. Itu
adalah saat-saat yang sulit bagiku. Karena aku, Keira yang kecil, takut
pada hari esok. Aku tidak bisa mengingat apa yang membuat Keira kecil
takut pada hari esok. Di bawah selimut, Keira kecil sering mengeluh
pada mum. 'Ma, aku tidak bisa tidur...' Mum duduk tidak jauh dari
tempat tidurku, di dalam kamar yang nyaman biasanya dia duduk dan
membaca. Dia akan menjawab 'coba berhitung sampai kamu tertidur.'
Lalu Keira kecil akan berhitung, 1-100. Hanya itu yang kukuasai.
Satu..
Dua...Tiga... Sepuluh... Sembilan puluh lima... Seratus. Terlalu mudah.
Aku tidak bisa tertidur. Lalu mum memberikan aku ide untuk menghitung
1-100 dalam bahasa mandarin.
Berhasil? Tentu saja.
Terbangun di pagi hari, dengan langit masih gelap. Aku mengusap
pelan mata-ku. Aku mengikat rambutku menjadi cepol yang manis. Sedikit
menggigil, dingin. Membuka kran air hangat, dan menikmati uap panas
yang mulai menyadarkanku dari perasaan kantuk.
Semalaman nonton DVD bersama Glass, aku masih ingin tertidur lebih lama.
Tidak bisa, teriakku dalam hati.
Sikat
gigi, mandi, memakai kaos lengan panjang abu-abu yang ditumpuk dengan
kaos biasa, aku menyambar tas dan memakai sneakers-ku dengan menginjak
bagian belakang-nya. Duduk di depan pintu, menunggu Glass menjemput-ku.
'Tertidur?'
Benar, aku tertidur. Aku tertidur dengan duduk di
anak tangga depan rumah, bersandar pada pinggiran tangga, Aku membuka
mata-ku, ugh.. berat. Ngantuk.
'Jangan ajak aku nonton sampe malam lagi.' Kataku, sedikit cemberut.
'Haha. Nampaknya mood tuan putri sedang jelek nich...' Glass mulai menggodaku.
Aku tersenyum.
'Aku lapar...'
Sampai di coffee shop, aku membuatkan sandwich untuk Glass, dan dua butir telur mata sapi untukku sendiri. Aku suka telur ayam. Omelet, orak-arik, rebus, mata sapi, steam, aku sangat menyukai telur ayam. Berbeda dengan Glass. Dia tidak tertarik sedikitpun.
Duduk di dalam coffee bar, bercanda dan tertawa dengan Glass, perlahan membuat kesadaranku pulih. Aku membuat latte untukku sendiri, Glass memilih susu coklat hangat.
Memakai appron hitam-ku, segera memulai hari yang mungkin akan sama. Mungkin akan berbeda.
Glass
pamit untuk bekerja. Aku tidak mengantarnya, dia menghampiriku,
menepuk-nepuk pipi-ku dengan tangannya lembut. Dan membisikkan sesuatu.
Aku melihat punggungnya keluar dari pintu coffee shop.
Satu jam kemudian, aku selesai bersiap-siap. Papan tulis sudah
ditulis dengan menu-menu, untuk hari ini, semua meja sudah mendapat
bunga yang baru, lantai mengkilat, semuanya.
Tergoda karena belum ada yang datang, aku membuka kemasan unagi, memotong-nya menjadi beberapa bagian, memasak dengan cepat, menambahkan bawang putih, black pepper, saus tiram. Menambahkan ini dan itu, adukan-adukan kecil, suara minyak yang panas terdengar sangat menyenangkan. Unagi beserta saus itu aku tuang keatas kentang rebus yang tumbuk halus, aku lapar sekali.
Tamu-ku datang, beberapa saat setelah aku menyelesaikan sarapanku. Sarapan kedua-ku, tepatnya.
Aku sedikit terkejut. Namun, aku segera mengambil daftar menu dan berjalan ke meja tamu yang baru masuk itu duduk.
Pria
itu, bukan kehadirannya yang membuat aku terkejut. Aku terkejut karena
aku mengenalinya, dan siapa yang datang bersamanya. Aku melihat seorang
wanita muda yang datang bersamanya, wanita muda yang wajah dan
kehadirannya asing buat-ku. Aku sangat memaksakan diriku untuk
tersenyum, saat berjalan ke meja mereka duduk berhadapan dan melayani
mereka. Ada sedikit pergumulan kecil bernama keadilan dalam hatiku.
'Pesanannya?' Tanyaku.
'Dua cangkir espresso, satu bacon sandwich. Kamu mau pesan apa?' Tanya pria itu pada wanita yang duduk didepannya.
Wanita itu muda, cantik dan sangat memesona. Dia memiliki mata yang indah.
'Green salad, dan yoghurt.'
'Baik.' Jawabku, tersenyum.
Aku tahu pria ini mengenaliku, dia tampak tak begitu peduli. Aku hanya mengangguk, menulis menu dan balik ke coffee bar.
Menambahkan tomat kecil segar diatas salad yang tersusun baik, memberi olive oil beberapa sendok. Sempurna. Bacon yang digrill
sudah bisa diangkat. Memotong beberapa potong dadu keju, lalu
meletakkannya diatas bacon. Keju lumer diatasnya. Dan tampak enak
sekali. Mengantarkan pesanan itu, mempersilahkan tamu-ku untuk
menikmatinya.
Tidak tahu jam berapa Hayden akan datang. Aku memasukan CD ke dalam player. Lembut lagu-lagu mulai mengalun di dalam coffee shop. Cukup lembut, cukup nyaman, cukup supaya aku tidak bisa mendengar pembicaraan tamu-ku.
Mereka duduk cukup lama. Aku akui, aku terganggu. Aku menghakimi
wanita itu. Tidak seharusnya dia duduk di sana. Aku memperhatikan
mereka dari pantulan kaca di dinding coffee shop. Mereka tidak akan
menyadari aku memperhatikan mereka.
Windbell.
Oops.
Dan mulai berdatangan.
'Luna... Seperti biasa?'
Dia mengangguk. Ceria seperti biasa. 'Satu cangkir, Kei.'
'Mochaccino?' Tanyaku, dan dia mengangguk.
Aku
memberikan satu cangkir mochaccino yang paling biasa yang kubuat
untuknya. Anehnya dia selalu menyukai minuman ini. Dia tidak lagi
tertarik untuk mengobrol. Mengambil cangkir mocchacino-nya, dia berjalan ke meja yang di depan coffee shop. Di sana dia membaca majalah yang aku tebak, pasti Bazaar, Vouge atau sejenisnya. Dia memang sangat sophisticated.
Aku sudah terbiasa. Menyesuaikan diri, remember? Jika mereka datang,
hanya ada dua pilihan. Memulai pembicaraan, atau memberi waktu tanpa
diganggu.
Coffee shop sudah cukup ramai. Namun setiap aku melayani
dan membuat pesanan, aku selalu melihat ke arah itu. Melihat ke arah
meja dimana pria dan wanita itu masih duduk. Aku bisa menebak, wanita
muda itu sangat gelisah. Sesuatu yang bertentangan dengan hati
nuraninya kah? Dan lelaki itu menghiburnya? Aku tidak tahu, bagiku, dia
bukan seorang lelaki yang mau membujuk wanita seperti sekarang ini.
Namun, tentu saja aku salah. Wanita itu, entah kenapa, hampir menangis.
Dan lelaki itu terlihat sangat menyayanginya. Dan berusaha meyakinkan
sesuatu padanya.
Seorang anak kecil, memanjat untuk duduk diatas kursi coffee bar, membuyarkan lamunanku.
'Bolehkah aku minta soda, tante?'
Aku mengangkat alisku, melihat ke sekeliling. Mencari dimana orang tua-nya, atau siapa yang datang bersamanya.
Dan disana, melambaikan tangan padaku. Memberikan izin bagiku untuk mengabulkan permintaan teman kecil ini. 'Boleh, dengan es?'
'Tidak usah, yang dingin aza.'
Aku mengangguk. 'Ini, superstar.' Aku iri dengan pipi merah merona-nya yang sehat sekali.
Milkshake...
Espresso...
Cangkir di rak mulai berkurang satu persatu.
Windbell.
'Kamu datang...' Sambutku antusias.
Dia datang. Min. Terlihat lebih kurus. 'Kei... Mau frappe, frappe. Dingin.'
Meraih shaker, mug, aku membuat frappe-nya. Coklat instan yang cara pembuatannya dikocok dengan shaker, kesukaannya.
'Kei, mana koran?' Tanyanya buru-buru. Dengan buru-buru aku menyerahkan koran pagi ini untuknya.
Dengan satu tangan ia membalik halaman demi halaman koran itu, dan tangan yang lain memegang gelas frappe-nya.
'Ada apa sih?'
'Sssttt, tar dulu, tar dulu.'
Dan dia berteriak.
Yeah, kaya ga tahu min aja. "Yey Yey Yey"-nya itu memenuhi @Double Esspresso.
Dia tidak peduli ada yang tertawa melihatnya. Dengan buru-buru aku
menghampirinya, dan melihat apa yang membuatnya begitu. Siapa yang
tidak tertular dengan antusiasmenya? Siapa yang bisa menghindari si
berisik ini?
Sudut kanan bawah, halaman 11 di Koran pagi itu.
'Awesome, kamu masuk, Min?' Tanyaku gembira.
Min mengangguk, 'Praise the Lord.'
'Masih finalis, Kei.' Lanjutnya.
Meraih koran dari tangannya, aku membacanya dengan seksama. 'Lawanmu berat juga Kei, ada Lasgon nich.'
Min mengangguk. Mulai mengambil persediaan makananku dengan santainya.
'Mau baca hasilnya?' Tanyanya cuek.
Aku
mengangguk. Dia mengeluarkan satu file yang tersusun rapi dari dalam
tas-nya, memberikannya padaku. 'Tolong kritik dan sarannya, Kei.'
Lalu dia duduk, tenggelam dalam membaca novel baru pemberian "sanke"-nya, The Host. Mungkin Min memang tahu aku tidak terlalu suka mengobrol, dan tahu kehadirannya sudah membuat aku senang.
Aku
membaca kata demi kata. Hanya beberapa halaman. Namun aku
sungguh-sungguh berada di "dalam" halaman-halaman, dunia Min. Setiap
kalimatnya, menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan yang kuajukan untuk
diriku sendiri. Aku bukan penilai yang baik, aku mengingatkan diriku.
Namun aku menyukainya.
Setelah selesai membacanya, aku meletakkan artikel itu di atas meja coffee bar. Tidak mengganggu Min yang serius dengan Meyer-nya. Aku meletakkan sebotol air mineral disamping gelas frappe-nya yang sudah kosong. Dia diam saja. Dia berbeda sekali jika dia serius, aku berkata dalam hatiku.
Aroma pahit yang misterius dari coffee memenuhi @Double Esspresso. Kental,
akrab sekali. Seperti itulah yang juga aku rasakan dengan Min di sini.
Aroma kopi yang kental, sarat dengan kepekatan. Satu kesamaan dengan
sahabat-ku ini.
Aku membalik halaman Koran pagi itu sekali lagi. Nah, aku tidak salah baca. Aku bisa memberikan dukungan padanya. Pada Min. Aku menulis sebuah alamat, alamat dimana aku bisa memberikan satu suara voting untuk karyanya.
Perasaan ini asing sekali, perasaan yang timbul saat ingin mendukung
Min. Perasaan peduli, perasaan seolah apa yang dia harapkan, penting
buatku. Aku merasa tanganku dingin, perasaan ini sudah lama tidak ada
dalam kehidupanku.
Perlahan waktu berlalu. Aku melihat kearah meja itu.
Wanita dan pria itu, sudah pulang. Saat mereka keluar dari pintu coffee shop,
aku sempat melihat, tangan pria itu diletakkan dibahu wanita yang
bersamanya. Ada kesan memiliki didalamnya. Pandangan itu membuatku
muak. Muak karena aku tahu, wanita itu mencuri posisi orang lain.
Posisi yang adalah “kehidupan” bagi seorang wanita yang lain.
‘Kei, sanke dah jemput. Aku pulang ya.’ Bola matanya sangat gelap dan terlihat cemerlang.
Aku mengangguk. ‘Salam untuk sanke, Min.’
Dia mengumpulkan buku dan artikelnya, menyusunnya dengan rapi. Memakai jaketnya dan berjalan keluar, setelah membayar.
Bagaimana mungkin aku merasa kesepian setelah dia pergi? Aku menertawakan diriku sendiri.
Aku mengingatkan diriku untuk bersiap-siap. Sudah hampir jam makan
malam. Segerombol mahasiswa, teman-teman yang pulang dari kantor.
Mereka akan mudah gelisah jika membuat mereka menunggu terlalu lama.
Mereka datang dengan tingkat kejenuhan dan kepenatan yang tinggi.
Keramaian itu menghiburku.
Aku menunggu Glass menjemputku, malamnya. Dia tidak pernah
mengizinkan aku pulang sendirian lagi di malam hari. Aku tidak
membantahnya. Glass tahu cara menemaniku, tanpa menggangguku, tanpa
membuatku takut. Aku menggunakan kata takut, benar.
Glass sedikit terlambat. Selesai membersihkan coffee bar,
menyusun kursi keatas meja, mematikan semua lampu dan lilin-lilin, dan
menutup pintu coffee shop, Glass belum sampai. Aku duduk dikursi coffee shop yang diletakkan diluar. Mengecek pesan masuk di ponsel. Bertanya-tanya, kenapa malam itu Glass terlambat.
Saat memutuskan untuk meneleponnya, mungkin perasaan khawatir itu,
aku tidak menyadari Glass sudah berdiri disampingku. Aku terkejut,
namun wajahku menampakkan kelegaan.
‘Sorry, aku telat.’
Dia membantuku membawa barang bawaanku. Baru detik itu aku menyadarinya.
Jika ini diibaratkan pada part sebuah lagu, maka ini adalah intro penutupnya.
Ending Intro.
Seorang
wanita berdiri tak jauh dari sana. Jelas, dia datang bersama Glass. Aku
memalingkan wajahku, menatap Glass, meminta jawaban.
‘Kei, ini Louis. Teman.’
Aku mengulurkan tangan pada Louis. Bersalaman. Tangannya mungil dan lembut.
Sungguh bodoh. Keira, kamu sungguh bodoh.
Tanpa suara aku berjalan, berdampingan dengan Louis. Louis ditengah,
Glass di samping Louis. Aku diam sepanjang perjalanan. Louis sangat
menyenangkan. Glass bercerita banyak padanya. Hal-hal yang tidak
kuketahui. Aku mendengarkan. Dalam situasi seperti ini, aku akan diam.
Aku bahkan tidak akan bersusah payah untuk ikut bergabung dengan
pembicaraan. Louis gadis yang menyenangkan, namun dia disini. Di
samping Glass. Tidak ada alasan aku menyukainya.
Dan, tentu saja. Glass lebih dulu mengantarkan aku sampai ke rumah. Tentu saja.
Louis dengan ceria mengucapkan selamat malam. Menunggu Glass, di depan pagar pekarangan rumahku. Glass menemaniku hingga pintu.
‘Kei, aku tahu…’
‘Jangan, jangan coba.’ Aku memalingkan wajahku. Menatapnya. Menantangnya. Aku sadar, aku mulai marah.
‘Dia memakai Prada, Glass. Tidak ada gadis yang memakai Prada untuk berjalan kaki sejauh itu, hanya untuk diantar pulang.’
‘Dan coba tebak, gaunnya? Vera Wang, mungkin?’
Glass menatapku, membiarkan aku selesai. Aku tahu dia marah. Dia marah karena kemarahanku.
‘Aku hanya lelah, maafkan aku.’ Kataku.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah, belum menutup pintu.
‘Glass,
begini, aku akan menutup pintu ini. Karena apapun yang akan kukatakan
lagi, akan aku sesali besok. Jadi, antarlah tuan putri itu pulang.’
Dan aku menutup pintu itu. Glass tidak berpaling, saat aku menutup pintu. Ia menatapku.
Aku membaca kata demi kata. Hanya beberapa halaman. Namun aku
sungguh-sungguh berada di "dalam" halaman-halaman, dunia Min. Setiap
kalimatnya, menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan yang kuajukan untuk
diriku sendiri.
Malam ini, mungkin aku akan menjawab pertanyaan itu satu persatu.
Menghitung 1-100 dalam bahasa asing tidak akan mampu membuatku tertidur.
- minmerry's blog
- Login to post comments
- 3431 reads