Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDA Space Teens
Double Esspresso - Stand A Chance
DOUBLE ESSPRESSO
Manusia,
.... melakukan apapun, untuk dirinya sendiri.
Tentu saja, itu bukan kalimatku.
Itu bukan kalimat seorang gadis
penunggu coffee shop.
Itu kalimat seorang tunawisma yang berdiri dan
tidur setiap hari di sudut jalan yang kutemui di Pearl City.
Kalimat
yang dia tulis disebuah papan, papan usang yang digantung di lehernya.
Ini bulan ke empat, aku--Keira pindah ke Pearl City.
Aroma kopi
memenuhi coffee shop pagi itu. Memenuhi di setiap sisi dalam ruangan
coffee shop yang masih kosong. Terlalu pagi untuk mengharapkan ada yang
datang ke coffee shop.
Waktu masih akan berlalu seperti kehendaknya untuk berlalu.
Espressoku berkurang setengah saat aku mulai melamun sambil menginput
nota dalam program komputerku. Aku belajar membuat laporan. Aku belajar
mencari tahu apa yang bisa diceritakan angka-angka. Rasa pahit kopi
tertinggal dilidahku. Aku menggigit sepotong besar waffel madu dan
bluberry hasil eksperimenku. Aku akan berkata yang sejujurnya, waffelnya
enak. Aku membiarkan pinggirannya sedikit overcooked, sedikit
kecoklatan. Madunya membuat waffel mudah lumer, aku bisa memotong waffel
dengan garpu, menyuapkan suapan besar ke dalam mulut, dengan topping
blueberry.
Aku tidak suka manis.
Tapi ini enak. Mungkin aku
berpikir aku tidak suka manis, tapi tidak seperti itu.
Selesai menginput, aku ingin segera menyiapkan makanan dan semuanya
hingga malam nanti.
'Ini untukmu.'
Hayden memberikan sebuah boneka, kira-kira
berukuran 50-60 cm. Hello Kitty. Aku sudah sangat tergiur untuk
melompat-lompat. Aku meletakkannya diatas pangkuanku, sambil terus
mengetik.
Kacamata yang paling aneh yang kupakai menutupi kira-kira
separuh wajahku. Ini kacamata mengemudiku, kacamata berjemurku, dan
kacamata andalanku.
Dia duduk didepanku. Memamerkan kulit putih dan
rambut coklat yang selalu membuat aku iri.
Selamat datang ke dalam
dunia ku. Dunia-Keira-dan-Teman-Temannya. Dunia dengan peraturan
berbicara sesedikit mungkin.
Dia menunjuk Hello Kitty itu dan
berkata, 'Dia duduk disana,' menunjuk ke kursi-kursi coffee shop yang
disusun di depan, 'Sejak aku datang tadi.'
'Lalu?'
'Lalu, disini,'
Dia mendekatkan wajahnya padaku, 'Tidak mungkin, aku, Hayden,
dihadiahkan Hello Kitty.'
'Jika itu ditinggalkan dengan sengaja,
bilang terimakasih sama pacarmu' Sahutnya, berjalan ke piano usang
milikku.
'Dia bukan pacarku.'
'Jangan jelaskan padaku.'
Aku
merenggut.
Memandangi boneka itu, aku berkata pada diriku sendiri,
'Keira, kamu menggenaskan.'
Hayden menatapku dari seberang ruangan, dia duduk di depan piano.
'Itu
cuma boneka, Kei. Come on. He have to come with something else.'
'Ini Hello Kitty, Hayden...Its more than something else. Dan apa
maksudmu dengan He? '
'Dan kamu bukan lagi Kezia, seperti keponakan
SF, contohnya... '
Dia menyindirku. Aku makin merenggut.
Lalu dia
tertawa.
'Berhenti memperlakukan aku seperti adikmu, Hayden.'
'Oh
ya, Kei. Aku serius soal lingkaran matamu tuh.'
'I'm ok.' Aku
tersenyum padanya, 'Just back to work.'
Beberapa saat kemudian, Joli datang. Menghabiskan sarapan sambil
membaca koran. Di saat dia selesai, aku menyelesaikan pesanan-pesanan
yang akan dia bawa ke kantor untuk teman-temannya. Hari ini dia tidak
lebih santai dari sebelumnya.
Dia menggodaku, mencoba menebak dari
mana Hello Kitty-ku datang.
Aku mencoba mengakui padanya bahwa tidak
seharusnya aku menyukai hal seperti ini. Mencoba menjelaskan perbedaaan
-aku bukan (lagi) Kezia, aku Keira-.
Dia menepuk pelan kepalaku,
mengancamku. 'Jangan berhenti menjadi seseorang yang menggemaskan
seperti ini, Kei. Aku benar-benar butuh hiburan, dan aku selalu
mendapatkannya jika berada disini melihat tingkahmu.'
'Dah, Joli mau
lapor ama Bos dulu, Kei.'
Aku mengangguk.
Aku berpikir untuk
menunggu sandman. Bertanya tanya, apakah ia akan menertawakanku.
Saat bekerja, aku akan terusik untuk memandang Hello Kitty-ku, yang
kuletakkan pada sebuah kursi tinggi. Disebelah kursi yang selalu
kududuki didalam coffee bar.
Ini tidak lagi soal Ben.
Tidak soal papa, apalagi mama.
Tidak
soal siapapun.
Ini Hello Kitty. Boneka kucing Jepang yang diciptakan
Sanrio.
Ok, tidak lucu.
Oh, tidak mungkin aku jatuh cinta.
Bayangkan, itu cuma boneka.
Bukan
cincin atau semacamnya.
Tapi ini perhatian atau semacamnya.
Aku berharap espressoku cukup pahit, sebagaimana seharusnya, kamu
tahu, kopi. Kopi seharusnya pahit. Aku mencurigai, karena perasaan ini,
perasaan bahagia ini, akan membuat kopi-ku, tidak seperti espresso. Aku
takut Iik-pun akan tersedak jika merasakan espresso-ku menjadi manis.
Cukup.
Semua jenis perasaan, akan berlalu.
Senang, bahagia, terharu itu
akan berlalu.
Kebencian, kemarahanm itu juga akan berlalu.
Biar
itu berlalu, sebelum aku menyadarinya.
Biar, suatu hari nanti, aku
akan dengan sulit mengingatnya kembali.
Sesuatu, harus berubah, bukan
begitu?
Aku rasa, aku sepertinya tidak sabar menunggu waktu berlalu...
Aku
merasa perasaan itu pelan-pelan, berlalu.
Malamnya, coffee shop cukup ramai. Sebagian besar mereka yang datang
untuk berdiskusi, mahasiswa. Duduk, dengan buku-buku dibuka. Laptop
menyala dengan tampilan teks yang berbeda-beda. Sebagian lagi, mereka
yang pulang kerja, lelah, memutuskan untuk mampir.
Aku mengenal
mereka, aku tahu alasan mereka ke @Double Esspresso.
Aku melihat wajah baru, di dekat jendela. Aku menghampirinya, membawa
buku menu dan segelas air putih.
'Silahkan.' Aku tersenyum.
Dia
membalas tatapanku.
Sedikit mengejutkanku. Matanya merah.
Ekspresinya, aku tidak bisa menebak.
'Kopi.' Jawabnya singkat.
Wajah
itu kurus, sedikit gemetaran. Lelaki itu, usianya tidak berbeda dengan
mahasiswa-mahasiswa tadi, aku menebak. Dia memakai aksesoris di
pergelangan tangannya. Aku tidak bisa menghindari untuk melihat lipatan
lengannya, penuh luka.
Suntikan, tentu saja.
Aku mengantarkan kopi kemejanya. Tidak lagi mengajaknya berbicara.
Apa
yang kamu harapkan, berada didekat seorang pecandu? Mengajaknya
berteman?
Aku menyadarinya memandangku.
Memandangku.
Aku tidak menghiraukannya. Aku melayani mahasiswa-mahasiswa itu.
Mengisi mug-mug besar mereka yang mulai kosong.
Disaat tidak ada
suara windbell, tanda ada yang masuk, aku duduk bersama-sama dengan
mahasiswa-mahasiswa itu. Mencoba membantu mereka mencari bahan di dalam
halaman-halaman buku mereka. Mendengar mereka bercerita tentang dosen
yang menyebalkan hingga gadis yang paling cantik di kampus.
Ada sela-sela di mana, semua berbicara, bekerja, membaca, bertepuk
tangan di saat Hayden menyelesaikan lagunya dengan chord terakhir.
Inilah
coffee shopku.
Bahkan Hayden juga menyimpan cerita, dan mengerjakan bagiannya.
Lagu-lagunya, adalah cerita. Itu caranya dia bercerita.
Aku memalingkan wajahku, melirik kearah pria itu. Pria yang
memandangku dengan matanya yang merah.
Dia masih disana. Tidak lagi
memandangku. Dia menunduk.
Aku bertanya pada diriku, apa ini?
Apakah dia pantas mendapat
kesempatan dariku? Apakah aku ingin menolongnya? Siapa aku, lalu ingin
menolongnya? Dia pecandu, Keira.
Aku mencoba membujuk diriku
untuk tidak tergerak oleh belas kasihan, mencoba menahan kakiku untuk
menghampirinya.
Aku, Keira.
Tapi, dia sudah datang.
Dia
datang ke coffee shopku.
Aku berjalan menghampiri mejanya.
Dia menatapku dengan tersenyum,
membuatku merasa muak. Aku membuang semua perasaan menuduh, menghakimi,
tidak suka yang ada dalam pikiranku.
Namun, aku harus menilai dengan
prasangka. Aku mencoba, namun, aku tetap menghakimi.
'Kamu butuh sesuatu?' Tanyaku, duduk di kursi didepannya.
Dia
menggeleng.
'Kamu mungkin butuh pertolongan. Kamu gemetaran, dan
berkeringat sejak tadi. Aku sendiri, hampir selalu kedinginan berada di
dalam coffee shop ini.'
'Beri aku segelas lagi.'
Dia menyodorkan
cangkir kopinya yang sudah kosong padaku.
'Cari seseorang yang kamu
percayai, dan cari pertolongan.' Kataku. Dia dapat mendengar nada
khawatir yang ku pakai.
Aku bangkit, karena dia hanya tersenyum sinis. Aku juga tidak tahu
bagaimana sebaiknya. Pandangannya membuat aku gerah, ketakutan. Aku
tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya.
Semua diruangan ini
tidak menyadari kehadirannya. Aku pemilik sebuah coffee shop. Aku
"melihat" setiap yang datang. Aku menilai mereka. Aku mengenali apa yang
mereka cari. Tidak sama dengan mereka yang datang. Mereka melepaskan
atau membawa sesuatu masuk ke dalam coffee shop ini, dan berharap
meninggalkan atau membawa sesuatu, saat keluar dari @Double Esspresso.
Mahasiwa-mahasiswa itu pulang dengan berisik. Membayar dengan
berisik. Berteriak padaku untuk pamitan.
Hayden juga sudah menutup
pianonya.
Namun aku menunggu Glass. Dia akan menjemputku.
Pria itu juga belum pulang. Mungkin dia bingung harus kemana dengan
kondisinya seperti ini. Dia harus mencari, menemukan apa yang membuat
dia sakit, kecanduan.
Aku membersihkan mesin kopi-ku. Aku selalu menunggu pelanggan
terakhirku pulang.
Aku menemani mereka. Biasanya mereka tidak pernah
terlalu malam. Sesuatu dalam coffee shopku, mampu menahan mereka
berjam-jam. Setelah itu, mereka akan pulang.
Aku menjual kopi. Aku
mungkin bersembunyi. Bersembunyi dengan sadar. Bersembunyi di dalam
coffee bar-ku.
Mereka yang datang juga sama.
Jika mereka ingin
bersembunyi dan tidak kembali, mereka akan datang ke wine bar. Tequilla
akan sangat membantu. Bukan espresso.
Aku menyimpan semua mug dalam rak.
Menyusun nota-nota menjadi
satu tumpukkan yang teratur.
Menghapus tulisan di papan @Double
Esspresso-ku.
Aku berdiri diluar coffee bar.
Pria itu bangkit
dari kursinya.
Aku sedikit lega, ia akan pulang.
Dia berjalan kearahku. Aku menyiapkan notanya.
'Ini.'
Dia
mengeluarkan uang dan membayarku.
Tidak terpikirkan olehku, yang terjadi berikutnya.
Aku merasa
tangannya meraih bahuku. Tangannya lembab. Nafasnya terputus-putus. Aku
bertaruh, dia masih kesakitan karena belum ada supply tambahan untuk
reaksi kecanduan yang menyiksanya.
Matanya yang merah menatapku.
Benci. Benci pada sesuatu, bukan padaku. Aku merasakan kejijikan yang
membuncah dari dadaku.
Aku dengan cepat meraih ponsel dalam kantung
celemekku, namun entah dari mana tenaga yang ia miliki itu, ia
mendesakku hingga ke coffee bar. Mendorongku. Meraih ponsel, dan
melemparkannya. Hancur.
Suara pecahan bergema menakutkan di dalam
coffee shop yang kosong.
Aku berteriak, saat tangannya dengan agresif
mulai turun ke bawah, meraih celanaku.
Dia menariknya. Dengan kasar.
Aku mendengar suara robekkan.
Ia menarik celanaku, dan robek.
AKu
kembali mencoba melawan. Aku berusaha mengambil sesuatu untuk
memukulnya. Dan dia menghantam wajahku. Bibirku, berdarah.
Dia menyentuhku, aku marah dan melawan. Aku berteriak, dan merasa
tenggorokkanku begitu perih.
Ini pelampiasannya karena tidak
mendapatkan obat? Menghukumku supaya ia bisa menahan penderitaannya?
Saat dia mulai menarik bajuku, aku melihat sosok yang ku kenal,
menghantam kepalanya dengan sebuah botol kaca.
Pria itu tergeletak
menimpaku.
Semua berlalu begitu cepat.
Aku tidak tahu bagaimana diriku lagi,
saat itu.
'Kei, Kei... Ini aku.'
Glass menarik pria itu dari tubuhku. Dia
menolongku berdiri. Kakiku gemetar, aku tidak mampu berdiri. Glass
menatapku, mungkin hatinya hancur. Tanpa sedikit tenaga, aku membiarkan
dia menyelimutiku dengan jaketnya. Menggendongku masuk ke dalam mobil.
Dia
menelepon, lalu juga masuk ke dalam mobil.
'Pergi, pergi...'
Bisikku, bukan suara yang keluar dari mulutku. Tapi terdengar seperti
nafas yang tertahan.
Aku terus mengulang ulang bisikkanku selama
dalam perjalanan.
'Pergi...'
Dia tidak membawaku ke rumah.
Saat ia menggendongku keluar dari mobil.
Aku melihat Joli dengan
khawatir, berdiri dipintu, menungguku.
'Dia akan takut padaku saat ini. Aku rasa dia ingin berada di dekat
orang-orangnya sendiri, bukan aku. Aku teringat kamu, Jol'
'Masuklah,
dan tetaplah disini, biarkan Joli mengurusi Keira.'
Aku tidak
berbicara. Aku terus meminta entah siapa itu, pergi.
Joli, mungkin
membiarkan aku berendam. Memeriksa memarku yang diakibatkan pecandu itu.
Mencoba mengurangi rasa takutku, aku tidak terlalu mengingatnya.
Tapi
aku menjadi lebih baik.
Semua jenis perasaan, akan berlalu.
Senang, bahagia, terharu itu
akan berlalu.
Kebencian, kemarahanm itu juga akan berlalu.
Biar
itu berlalu, sebelum aku menyadarinya.
Biar, suatu hari nanti, aku
akan dengan sulit mengingatnya kembali.
Sesuatu, harus berubah, bukan
begitu?
Aku menatap diriku di cermin.
Dimana aku mulai salah?
Memutuskan untuk memberi kesempatan pada
pria itu?
Atau merasa mungkin bisa membantunya?
Siapa aku?
Aku berjalan dan turun ke lantai bawah.
Joli berkata Glass masih
menungguku.
Aku duduk dan memikirkannya berjam-jam.
Ini pasti
sudah jam 3 pagi.
Aku turun, mendapatkan Glass duduk di sofa Joli.
Suara gelang
kakiku saat aku berjalan, dia mengenalinya. Dia memalingkan wajahnya.
Lega. Aku tidak tahu dimana dia menyembunyikan semua kemarahan yang tadi
kulhat.
'Kamu tidak takut padaku?'
Tanyanya.
Aku menggeleng.
Aku berjalan menuju dirinya. Ditempat dia duduk.
Dia
membiarkan aku duduk dipangkuannya, memelukku.
Semua itu. Berlalu begitu cepat.
Pagi tadi, semua berjalan
sempurna. Dan akankah dapat kutebak akan berakhir seperti ini, dalam
satu hari yang sama?
Aku akan melupakannya, bisikku dalam hati pada diriku sendiri.
'Aku suka hadiahnya.' Kataku.
Dia menghela napas.
Aku menghitung tarikkan nafasnya. Dan menutup pintu yang lain dalam
hatikku.
Aku tidak akan membutuhkan kunci untuk membuka pintu itu untuk waktu
yang lama.
- minmerry's blog
- Login to post comments
- 3093 reads